BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Asas negara pada abad pertengahan
berbeda dengan asas negara modern. Pada abad pertengahan pemikiran tentang
suatu negara belum jelas dan tertata, ketika itu agama merupakan pondasi
negara, sebagaimana agama merupakan lambang kebangsaan atau nasionalisme. Di
daerah Timur, Islam merupakan negara sedangkan di Barat, Kristen adalah negara.
Seorang muslim akan menjadi warga negara di setiap masyarakat muslim atau
kelompok muslim, sebagaimana seorang nasrani yang menjadi warga negara atau
anggota di masyarakat atau kelompok kristen. Dan kelompok minoritas selalu
mendapat perlindungan dari kelompok mayoritas. Maka ketika seseorang yang
keluar dari agama ia dianggap telah melakukan pengkhianatan, karena ia dianggap
telah bergabung dengan agama musuh mereka, yaitu negara mereka. Karena itu
hukuman bagi seorang yang keluar dari Islam adalah sangat berat sebagaimana
yang diriwayatkan oleh Nabi Muhammad s.a.w. bahwa beliau bersabda: Artinya:
Tidak dihalalkan darah seorang muslim yang bersaksi tiada Tuhan selain Allah
dan Aku Rasulullah kecuali dengan tiga cara yaitu: janda yang berzina,
menghilangkan nyawa, dan meninggalkan agamanya untuk memisahkan dari kelompok.
Dalam Hadits tersebut Nabi tidak
menerangkan tentang apa yang dimaksud dengan keluar dari agama, apakah keluar
dari agama Islam ke agama lain secara umum, atau dengan makna merubah ajaran
agama Islam dengan ajaran agama lain. Namun secara siyaq (konteks), makna Hadits lebih
mendekati ke pemahaman yang kedua, yang kemudian diambil pendapat bahwa hukuman
mati merupakan hukuman yang pantas bagi orang murtad -kecuali jika ia
bertaubat-, namun Nabi belum pernah menerapkan had
riddat selama hidup beliau, dalam Alquran terdapat firman
Allah dalam surat al-Baqarat
(02) Ayat 256 dan surat Yunus
(10) ayat 99 yang menerangkan tentang kebebasan individu dalam memilih agama
sesuai dengan kepercayaan masing-masing dan tidak ada pemaksaan untuk menjadi
muslim, karena tidak ada kebaikan ketika seseorang menjadi muslim karena
terpaksa. Begitu juga apabila ada yang keluar dari agama Islam, Islam tidak
merugi bahkan orang tersebut yang rugi karena lebih memilih menjadi mulhid daripada
menjadi mu’min. Saat ini kebebasan beragama merupakan hak individu di seluruh
dunia yang tertera dalam undang-undang internasional begitu juga tertera dalam
undang-undang Mesir yang berbunyi:
Negara memberikan kebebasan warganya
dalam beragama dan kebebasan dalam melaksanakan syi’ar agama masing-masing.
Tidak ada perbedaan warganya hanya karena perbedaan agama dan keyakinan. Hal
tersebut dikarenakan negara didirikan bukan berasaskan agama, tetapi
berdasarkan negara yang terdiri dari tanah dan warga (masyarakat) yang memiliki
sejarah tersendiri. Namun, hal tersebut bukan berarti negara menghindari
penerapan hukum agama dan warisannya –apalagi jika negara tersebut memiliki
sejarah agama yang beragam seperti Mesir- karena hal tersebut tidak terlepas
dari sejarah agama, yang dalam penerapannya tidak terlepas dari sistem politik.
B.
Tujuan
Tujuan penulis membuat makalah ini adalah untuk mengetahui
pengertian Murtad menurut fiqih, al – Qur’an dan hadis, mudah - mudahan makalah
ini bermanfaat bagi saya dan orang lain.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Pengertian
Murtad
Murtad berasal dari kata irtadda
yang artinya raja’a (kembali), sehingga apabila dikatakan irtadda ‘an diinihi
maka artinya orang itu telah kafir setelah memeluk Islam (lihat Mu’jamul
Wasith, 1/338).Perbuatannya yang menyebabkan dia kafir atau murtad itu disebut
sebagai riddah (kemurtadan). Secara istilah makna riddah adalah : menjadi kafir
sesudah berislam. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Barangsiapa diantara
kalian yang murtad dari agamanya kemudian mati dalam keadaan kafir maka mereka
itulah orang-orang yang terhapus amalannya di dunia dan akhirat. Dan mereka
itulah penghuni neraka. Mereka kekal berada di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah :
217) (lihat At-Tauhid li Shaffits Tsaalits ‘Aliy, hal. 32)
B. Macam – macam riddah
1. Riddah dengan sebab ucapan
Seperti contohnya ucapan
mencela Allah ta’ala atau Rasul-Nya, menjelek-jelekkan malaikat atau salah
seorang rasul. Atau mengaku mengetahui ilmu gaib, mengaku sebagai Nabi,
membenarkan orang yang mengaku Nabi. Atau berdoa kepada selain Allah,
beristighotsah kepada selain Allah dalam urusan yang hanya dikuasai Allah atau
meminta perlindungan kepada selain Allah dalam urusan semacam itu.
2.
Riddah dengan sebab perbuatan
Seperti contohnya
melakukan sujud kepada patung, pohon, batu atau kuburan dan menyembelih hewan
untuk diperembahkan kepadanya. Atau melempar mushaf di tempat-tempat yang
kotor, melakukan prkatek sihir, mempelajari sihir atau mengajarkannya. Atau
memutuskan hukum dengan bukan hukum Allah dan meyakini kebolehannya.
3.
Riddah dengan sebab keyakinan
Seperti contohnya
meyakini Allah memiliki sekutu, meyakini khamr, zina dan riba sebagai sesuatu
yang halal. Atau meyakini roti itu haram. Atau meyakini bahwa sholat itu tidak
diwajibkan dan sebagainya. Atau meyakini keharaman sesuatu yang jelas
disepakati kehalalannya. Atau meyakini kehalalan sesuatu yang telah disepakati
keharamannya.
4.
Riddah dengan sebab keraguan
Seperti meragukan
sesuatu yang sudah jelas perkaranya di dalam agama, seperti meragukan
diharamkannya syirik, khamr dan zina. Atau meragukan kebenaran risalah Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam atau para Nabi yang lain. Atau meragukan
kebenaran Nabi tersebut, atau meragukan ajaran Islam. Atau meragukan kecocokan
Islam untuk diterapkan pada zaman sekarang ini (lihat At-Tauhid li Shaffits
Tsaalits ‘Aliy, hal. 32-33)
C. Persoalan murtad menurut Qur’an
Qur’an Suci adalah sumber syari’at
Islam yang paling utama; oleh sebab itu akan kami dahulukan. Soal pertama,
dalam Qur’an tak ada satu ayat pun yang membicaraan perihal murtad secara
kesimpulan. Irtidad
atau perbuatan murtad
yang terjadi karena menyatakan diri sebagai orang kafir atau terang-terangan
mengingkari Islam, ini tak dapat dijadikan patokan, karena adakalanya orang
yang sudah mengaku Islam, mempunyai pendapat atau melakukan perbuatan yang
menurut penilaian ulama ahli fiqih, bukanlah bersumber kepada Islam. Mencaci-maki
seorang Nabi atau menghina Qur’an, acapkali dijadikan alasan untuk
memperlakukan seseorang sebagai orang murtad, sekalipun ia secara
sungguh-sungguh mengaku sebagai orang beriman kepada Qur’an dan Nabi.
Soal kedua, pengertian umum bahwa Islam
menghukum mati orang murtad, ini tak ada dalilnya dalam Qur’an Suci. Dalam Encyclopaedia of Islam,
tuan Heffeming mengawali tulisannya tentang masalah murtad dengan kata-kata:
“Dalam Qur’an, ancaman hukuman terhadap orang yang murtad hanya akan dilakukan
di Akhirat saja”. Dalam salah satu wahyu Makkiyah terakhir, terdapat uraian: “Barangsiapa kafir kepada Allah
sesudah beriman -bukannya ia dipaksa, sedang hatinya merasa tentram dengan
iman, melainkan orang yang membuka dadanya untuk kekafiran-, mereka akan
ditimpa kutuk Allah, dan mereka akan mendapat siksaan yang pedih” .
Dari ayat ini terang sekali bahwa orang murtad akan mendapat siksaan di
Akhirat, dan hal ini tak diubah oleh wahyu yang diturunkan belakangan takala
pemerintah Islam telah berdiri, setelah Nabi Suci hijrah ke Madinah.
Adapun dalil yang paling meyakinkan
bahwa orang murtad tidak dihukum mati, ini tercantum dalam rencana kaum Yahudi
yang diangan-angankan selagi mereka hidup di bawah pemerintahan Islam di
Madinah. Qur’an berfirman: “Dan
golongan kaum Ahli Kitab berkata: Berimanlah kepada apa yang diturunkan kepada
arang-orang yang beriman pada bagian permulaan hari itu, dan kafirlah pada
bagian terakhir hari itu”.
Bagaimana mungkin orang yang hidup
di bawah pemerintahan Islam dapat meng-angan-angankan rencana semacam itu yang
amat merendahkan martabat Islam, jika perbuatan murtad harus dihukum mati?
Surat al-Maidah
adalah Surat yang diturunkan menjelang akhir hidup Nabi Suci, namun dalam Surat
itu perbuatan murtad dibebaskan dari segala hukuman dunia: “Wahai orang-orang yang beriman,
barangsiapa di antara kamu murtad dari agamanya, maka Allah akan mendatangkan
kaum yang Allah cinta kepada mereka dan mereka cinta kepada-Nya“.
D. Persoalan murtad menurut Hadits
Marilah kita sekarang meninjau
uraian Hadits, yang dalil Hadits inilah yang dipakai oleh kitab-kitab fiqih
sebagai dasar adanya hukuman mati bagi kaum murtad. Tak sangsi lagi bahwa
uraian Hadits yang bersangkutan mencerminkan uraian yang timbul belakangan,
namun demikian, jika Hadits itu kita pelajari dengan teliti, sampailah pada
kesimpulan, bahwa perbuatan murtad tidaklah dihukum, terkecuali apabila
perbuatan murtad itu dibarengi dengan peristiwa lain yang menuntut suatu
hukuman bagi pelakunya. Imam Bukhari yang tak sangsi lagi merupakan penulis
Hadits yang paling teliti dan paling hati-hati, amatlah tegas dalam hal ini.
Dalam Kitab Bukhari terdapat dua bab
yang membahas masalah murtad; yang satu berbunyi: Kitabul-muharibin min ahlil-kufri wariddah, artinya
Kitab tentang orang yang
berperang (melawan kaum Muslim)
dari golongan kaum kafir dan kaum murtad. Adapun yang satu lagi
berbunyi: Kitab
istita-bal-mu’anidin wal-murtadin wa qitalihim, artinya Kitab tentang seruan bertobat bagi
musuh dan kaum murtad dan berperang melawan mereka.
Dua judul itu sudah menjelaskan sendiri. Judul
yang pertama, menerangkan seterang-terangnya bahwa yang dibicarakan hanyalah
kaum murtad yang berperang melawan kaum Muslimin. Adapun judul yang kedua,
hubungan kaum murtad dengan musuh-musuh Islam. Itulah yang sebenarnya menjadi
pokok dasar seluruh persoalan; hanya karena salah paham sajalah maka dirumuskan
suatu ajaran yang bertentangan dengan ajaran Qur’an yang terang-benderang.
Banyak sekali orang yang hanya
menekankan satu Hadits yang berbunyi: “Barangsiapa murtad dari agamanya,
Bunuhlah dia”. Tetapi mengingat apa yang diungkapkan dalam Kitab Bukhari bahwa
yang dimaksud murtad ialah orang yang berbalik memerangi kaum Muslimin, dan
menghubungkan nama mereka dengan nama-nama musuh Islam, maka terang sekali
bahwa yang dimaksud oleh Hadits tersebut ialah orang yang mengubah agamanya dan
bergabung dengan musuh-musuh Islam lalu bertempur melawan kaum Muslimin.
Hanya dengan pembatasan dalam arti
itulah, maka Hadits tersebut dapat disesuaikan dengan Hadits lain, atau dengan
prinsip-prinsip yang digariskan oleh Qur’an Suci. Sebenarnya, kata-kata Hadits
tersebut begitu luas sehingga mencakup segala pergantian agama, agama apa saja.
Jika demikian, maka orang non-Muslim yang masuk Islam, atau orang Yahudi yang
masuk Kristen, harus dibunuh. Terang sekali bahwa uraian semacam itu tak dapat
dilakukan kepada Nabi Suci. Maka Hadits tersebut tak dapat diterima begitu saja
tanpa diberi pembatasan dalam artinya.
D. Perbuatan Murtad dalam Fiqih
Jika kita membaca kitab fiqih, di
sana diuraikan bahwa mula-mula para ulama fiqih menggariskan satu prinsip yang
bertentangan sekali dengan Qur’an Suci, yakni orang dapat dihukum mati karena
murtad. Dalam Kitab
Hidayah diuraikan: “Orang yang murtad, baik orang merdeka maupun
budak, kepadanya disajikan agama Islam; jika ia menolak, ia harus
dibunuh”. Tetapi setelah Kitab
Hidayah menguraikan prinsip tersebut, segera disusul dengan uraian
yang bertentangan dengan menyebut orang murtad sebagai “orang kafir yang
melancarkan perang (kafir
harbiy) yang
kepadanya telah disampaikan dakwah Islam”. Ini menunjukkan bahwa dalam Kitab
Fiqih pun, orang murtad yang dihukum mati, ini disebabkan karena ia musuh yang
memerangi kaum Muslimin.
Adapun mengenai perempuan yang
murtad, mereka tidak dihukum mati, karena alasan berikut ini: “Alasan kami
mengenai hal ini ialah, bahwa Nabi Suci melarang membunuh kaum perempuan dan
karena pembalasan yang sebenarnya (bagi kaum mukmin dan kafir) itu ditangguhkan
hingga Hari Kiamat, dan mempercepat pembalasan terhadap mereka di dunia akan
menyebabkan kekacauan, dan penyimpangan dari prinsip ini hanya diperbolehkan
apabila terjadi kerusakan di bumi berupa pertempuran, dan hal ini tak mungkin
dilakukan oleh kaum perempuan, karena kondisi mereka tak mengizinkan”.
Ulama yang menafsiri kitab itu
menambahkan keterangan: “Menghukum mati orang murtad itu wajib, karena ini akan
mencegah terjadinya pertempuran yang merusakkan, dan ini bukanlah hukuman
karena menjadi kafir” (idem). Selanjutnya ditambahkan keterangan sebagai
berikut: “Hanya karena kekafiran saja, tidaklah menyebabkan orang boleh dibunuh
menurut hukum” (idem). Terang sekali bahwa dalam hal pertempuran dengan kaum
kafir, ulama ahli fiqih berbuat kesalah-pahaman, dan nampak sekali terjadi
pertentangan antara prinsip yang digariskan oleh Qur’an dengan kesalah-pahaman
yang masuk dalam pikiran ulama ahli fiqih. Qur’an Suci menggariskan
seterang-terangnya bahwa orang murtad dihukum mati, bukan karena kekafirannya
melainkan karena hirab
atau memerangi
kaum Muslimin.
Adapun alasannya dikemukakan
seterang-terangnya bahwa menghukum mati orang karena kekafiran, ini
bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. Tetapi ulama ahli fiqih salah paham,
bahwa kemampuan berperang, mereka anggap sebagai keadaan perang, suatu anggapan
yang tak masuk akal samasekali. Jika itu yang dimaksud, bahwa orang murtad
mempunyai kemampuan berperang, anak kecil dan erempuan pun dapat disebut harbiy (orang
berperang), karena anak kecil dan perempuan itu akan tumbuh menjadi besar dan
mempunyai kemampuan berperang.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Murtad berasal dari kata irtadda
yang artinya raja’a (kembali), sehingga apabila dikatakan irtadda ‘an diinihi
maka artinya orang itu telah kafir setelah memeluk Islam (lihat Mu’jamul
Wasith, 1/338).Perbuatannya yang menyebabkan dia kafir atau murtad itu disebut
sebagai riddah (kemurtadan). Secara istilah makna riddah adalah : menjadi kafir
sesudah berislam. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Barangsiapa diantara
kalian yang murtad dari agamanya kemudian mati dalam keadaan kafir maka mereka
itulah orang-orang yang terhapus amalannya di dunia dan akhirat. Dan mereka
itulah penghuni neraka. Mereka kekal berada di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah :
217) (lihat At-Tauhid li Shaffits Tsaalits ‘Aliy, hal. 32)
Penulis Kristen yang bersemangat sekali
untuk menemukan ayat Qur’an yang menghukum mati orang murtad, tak segan-segan
lagi menerjemahkan kata fayamut
(yang sebenarnya berarti: lalu
ia mati) mereka terjemahkan: lalu
ia dihukum mati, suatu terjemahan yang amat keliru. Kata fayamut adalah kata kerja
aktif, dan kata yamutu artinya
ialah mati.
Digunakannya kata itu membuktikan seterang-terangnya bahwa perbutaan murtad
tidaklah dihukum mati. Sebagian mufassir menarik kesimpulan yang salah terhadap
ayat yang berbunyi: “ini
adalah orang yang sia-sia amal perbuatannya”, ini tidaklah berarti
bahwa ia akan diperlakukan sebagai penjahat. Adapun yang dimaksud dengan kata amal di sini ialah
perbuatan baik yang ia lakukan selama ia menjadi Muslim. Amal inilah yang akan
menjadi sia-sia, baik di dunia maupun di akhirat setelah ia murtad.
Sebagian Hadits menerangkan bahwa
mereka disiksa sampai mati. Jika ini terjadi sungguh-sungguh, ini hanyalah
sekedar hukum qisas, yang sebelum turun wahyu tentang hukum pidana secara
Islam, hukum qisas menjadi peraturan yang lazim. Sebagian Hadits menerangkan
bahwa segolongan orang dari kabilah ‘Ukul mencukil mata penjaga unta, lalu
digiringnya ke gunung batu yang panas, agar ia mati kesakitan. Oleh sebab itu
lalu mereka juga dihukum mati seperti itu. Tetapi Hadits lain membantah tentang
digunakannya hukum qisas dalam peristiwa tersebut. Menurut Hadits ini, Nabi
Suci berniat menyiksa mereka sampai mati sebagaimana telah mereka lakukan
terhadap si penjaga unta, tetapi sebelum beliau melaksanakan hukuman itu,
beliau menerima wahyu yang mengutarakan hukuman bagi mereka yang melakukan
pelanggaran semacam itu, yang berbunyi: “Adapun hukuman orang yang memerangi
Allah dan Rasul-Nya dan berbuat bencana di bumi, ialah mereka harus dibunuh
atau disalib atau dipotong tangan mereka berselang-seling, atau dipenjara”.
Jadi, menurut ayat ini, perbuatan murtad ialah melancarkan perang terhadap
Allah dan Rasul-Nya. Adapun hukumannya bermacam-macam selaras dengan sifat
kejahatan yang mereka lakukan. Adakalanya dihukum mati atau disalib apabila ia
menjalankan teror; tetapi adakalanya hanya dihukum penjara saja.
DAFTAR PUSTAKA
QS.
Al-Baqarah : 217) (lihat At-Tauhid li Shaffits Tsaalits ‘Aliy, hal. 32)
Encyclopaedia of Islam dan imam buhari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan komentari......