Kamis, 07 Februari 2013

makalah tentang pergadaian



BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Islam agama yang lengkap dan sempurna telah meletakkan kaidah-kaidah dasar dan aturan dalam semua sisi kehidupan manusia, baik dalam ibadah maupun muamalah (hubungan antar makhluk). Setiap orang membutuhkan interaksi dengan orang lain untuk saling menutupi kebutuhan dan tolong-menolong di antara mereka. Karena itulah, kita sangat perlu mengetahui aturan Islam dalam seluruh sisi kehidupan kita sehari-hari, di antaranya tentang interaksi sosial dengan sesama manusia, khususnya berkenaan dengan perpindahan harta dari satu tangan ke tangan yang lain.
Utang-piutang terkadang tidak dapat dihindari, padahal banyak muncul fenomena ketidakpercayaan di antara manusia, khususnya di zaman kiwari ini. Sehingga. orang terdesak untuk meminta jaminan benda atau barang berharga dalam meminjamkan hartanya. Realita yang ada tidak dapat dipungkiri, suburnya usaha-usaha pegadaian, baik dikelola pemerintah atau swasta menjadi bukti terjadinya kegiatan gadai ini. Ironisnya, banyak kaum muslimin yang belum mengenal aturan indah dan adil dalam Islam mengenai hal ini.
B.      Tujuan
-          Mengetahui pengertian penggadaian
-          Rukun gadai
-          Hak penerima gadai
-          Syarat sah gadai
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.      Pengertian Gadai
Pengertian Gadai Menurut Umum (Konvensional) Pegadaian adalah suatu hak yang diperoleh seseorang yang mempunyai piutang atas suatu barang bergerak. Barang bergerak tersebut diserahkan kepada orang yang berpiutang oleh seorang yang mempunyai utang atau oleh orang lain atas nama orang yang mempunyai utang. Seseorang yang berutang tersebut memberikan kekuasaan kepada orang yang berpiutang untuk menggunakan barang bergerak yang telah diserahkan untuk melunasi utang apabila pihak yang berutang tidak dapat melunasi kewajibannya pada saat jatuh tempo.
Perusahaan Umum Pegadaian adalah suatu badan usaha di Indonesia yang secara resmi mempunyai izin untuk melaksanakan kegiatan lembaga keuangan berupa pembiayaan dalam bentuk penyaluran dana ke masyarakat atas dasar hukum gadai.
Pengertian Gadai Menurut Syari’at Islam Gadai dalam perspektif islam disebut dengan istilah rahn, yaitu suatu perjanjian untuk menahan sesuatu barang sebagai jaminan atau tanggungan utang. Kata rahn secara etimologi berarti “tetap”,”berlangsung”dan “menahan”. maka dari segi bahasa rahn bisa diartikan sebagai menahan sesuatu dengan tetap. Ar-Rahn adalah menahan salah satu harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya
rahn merupakan suatu akad utang piutang dengan menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syara’ sebagai jaminan, hingga orang yang bersangkutan boleh mengambil utang.
Sejarahnya Pegadaian Syariah Terbitnya PP/10 tanggal 1 April 1990 dapat dikatakan menjadi tonggak awal kebangkitan Pegadaian, satu hal yang perlu dicermati bahwa PP10 menegaskan misi yang harus diemban oleh Pegadaian untuk mencegah praktik riba, misi ini tidak berubah hingga terbitnya PP103/2000 yang dijadikan sebagai landasan kegiatan usaha Perum Pegadaian sampai sekarang. Landasan Hukum Landasan konsep pegadaian Syariah juga mengacu kepada syariah Islam yang bersumber dari Al Quran dan Hadist Nabi SAW. Adapun dasar hukum yang dipakai adalah :Surat Al Baqarah : 283
Artinya:
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan Hadits Rasul Saw yang diriwayatkan oleh Muslim dari Aisyah ra.



Secara umum syarat sah dan rukun dalam menjalankan transaksi gadai adalah sebagai berikut:
1.      Rukun Gadai
-          Ada ijab dan qabul (shighat)
-          Terdapat orang yang berakad yang mengadaikan (rahin) dan yang menerima gadai (murtahin)
-          Ada jaminan (marhun) berupa barang / harta
Utang (marhun bih)
2.      Syarat Sah Gadai
-          Shigat
-          Orang yang berakal
-          Barang yang dijadikan pinjaman
-          Utang ( marhum bih )
B.      Hak dan Kewajiban Pihak yang Berakad
1.  Penerima Gadai (Murtahin)Hak Penerima Gadai
a.      Apabila rahin tidak dapat memenuhi kewajibannya pada saat jatuh tempo, murtahin berhak untuk menjual marhun
b.      Untuk menjaga keselamatan marhun, pemegang gadai berhak mendapatkan penggantian biaya yang dikeluarkan
c.       Pemegang gadai berhak menahan barang gadai dari rahin, selama pinjaman belum dilunasin Kewajiban Penerima Gadai

2.      Pemberi Gadai (Rahin) Hak Pemberi Gadai
-          Setelah pelunasan pinjaman, rahin berhak atas barang gadai yang diserahkan kepada murtahin
-          Apabila terjadi kerusakan atau hilangnya barang gadai akibat kelalaian murtahin, rahin menuntut ganti rugi ataas marhun
-          Setelah dikurangi biaya pinjaman dan biaya-biaya lainnya, rahin berhak menerima sisa hasil penjualan marhun
-          Apabila diketahui terdapat penyalahgunaan marhun oleh murtahin, maka rahin berhak untuk meminta marhunnya kembali
C.      Akad Perjanjian Transaksi Gadai
a.      Qard al- Hasan
Akad ini digunakan nasabah untuk tujuan konsumtif, oleh karena itu nasabah (rahin) akan dikenakan biaya perawatan dan penjagaan barang gadai (marhun) kepada pegadaian (murtahin)
Ketentuannya:
- Barang gadai hanya dapat dimanfaatkan dengan jalan menjual, seperti emas, barang elektronik, dan lain sebagainya
- Karena berifat social, maka tidak ada pembagian hasil. Pegadaian hanya diperkenakan untuk mengenakan biaya administrsi kepada rahin
b.      Mudharabah
Akad yang diberikan bagi nasabah yang ingin memperbesar modal usahanya atau untuk pembiayaan lain yang bersifat produktif.
Ketentuannya:
- Barang gadai dapat berupa barang barang bergerak maupun barang tidak bergerak seperti : emas, elektronoik, kendaraan bermotor, tanah, rumah,dll
- Keundungan dibagi setelah dikurangi dengan biaya pengelolaan marhun
c.       Ba’I Muqayyadah
Akad ini diberikan kepada nasabah untuk keperluan yang bersifat produktif. Seperti pembelian alat kantor, modal kerja. Dalam hal ini murtahin juga dapat menggunakan akad jual beli untuk barang atau modal kerja yang diingginkan oleh rahin. Barang gadai adalah barang yang dimanfaatkan oleh rahin aupun murtahin.
d.      Ijarah
Objek dari akad ini pertukaran manfaat tertentu.bentuknya adalah murtahin menyewakan tempat penyimpanan barang.
D.     Mekanisme Operasional dan Perhitungan Pegadaian Syari’ah
Dengan memahami konsep lembaga gadai syariah maka sebenarnya lembaga gadai syariah untuk hubungan antar pribadi sudah operasional. Setiap orang bisa melakukan perjanjian hutang piutang dengan gadai secara syariah. Pada dasarnya konsep hutang piutang secara syariah dilakukan dalam bentuk al-qardhul hassan, dimana pada bentuk ini tujuan utamanya adalah memenuhi kewajiban moral sebagai jaminan sosial.
1.      Jenis barang yang digadaikan
-          Perhiasan
-          Alat – alat rumah tangga
-          Kendaraa
2.      Biaya – biaya
-          Biaya administrasi pinjaman Untuk transaksi pinjaman ditetapkan sebesar Rp 50,- untuk setiap kelipatan pinjaman Rp 5.000,- biaya ini hanya dikenakan 1 kali diawal akad
-          Jasa simpanan Besarnya tarif ditentukan oleh:
a.      Nilai taksiran barang
b.      Jangka waktu ditetapkan 90 hari
c.       Perhitungan simpanan setiap kelipatan 5 hari. Berlaku pembulatan ke atas (1-4 hari dengan 5 hari) Ketentuan Barang
d.      Perhiasan sebesar Rp 90,- per 10 hari. Total biaya dilakukan pembulatan Rp 100 terdekat (0-50 dianggap 0; > 51- 100 dibulatkan Rp 100,-)
e.      Barang elektronok alat rumah tangga biayanya sebesar Rp 95,- per 10 hari
f.        Kendaraan bermotor biayanya sebesar Rp 100,- Per 10 hari
3.      Sistem cicilan atau perpanjangan
Nasabah (rahin) dapat melakukan cicilan dengan jangka waktu 4 bulan. Jika belum dapat melunasi dalam waktu tersebut, maka rahin dapat mengajukan permohonan serta menyelesaikan biayanya. Lamanya waktu perpanjangan adalah kurang lebih 4 bulan. Jika nasabah masih belum dapat mengembalikan pinjmanya, maka marhun tidak dapat diambil.
4.      Ketentuan pelunasan pinjaman dan pengambilan barang gadai
5.      Proses pelelangan barang gadai
Pelelangan baru dapat dilakuka jika nasabah (rahin) tidak dapat mengembalikan pinjamannya. Teknis harus ada pemberitahuan 5 hari sebelim tanggal penjualan. Ketentuannya :
a.      untuk marhun berupa emas ditetapkan margin sebesar 2 % untuk pembeli
b.      pihak penggadaian melakukan pelelangan terbatas
c.       biaya penjualan sebesar 1 % dari hasil penjualan, biaya pinjaman 4 bulan, sisanya dikembalikan ke nasabah
d.      sisa kelebihan yang tidak diambil selama 1 tahun akan diserahkan ke baitul maal










BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Pengertian Gadai Menurut Umum (Konvensional) Pegadaian adalah suatu hak yang diperoleh seseorang yang mempunyai piutang atas suatu barang bergerak. Barang bergerak tersebut diserahkan kepada orang yang berpiutang oleh seorang yang mempunyai utang atau oleh orang lain atas nama orang yang mempunyai utang. Seseorang yang berutang tersebut memberikan kekuasaan kepada orang yang berpiutang untuk menggunakan barang bergerak yang telah diserahkan untuk melunasi utang apabila pihak yang berutang tidak dapat melunasi kewajibannya pada saat jatuh tempo.
Pengertian Gadai Menurut Syari’at Islam Gadai dalam perspektif islam disebut dengan istilah rahn, yaitu suatu perjanjian untuk menahan sesuatu barang sebagai jaminan atau tanggungan utang. Kata rahn secara etimologi berarti “tetap”,”berlangsung”dan “menahan”. maka dari segi bahasa rahn bisa diartikan sebagai menahan sesuatu dengan tetap. Ar-Rahn adalah menahan salah satu harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya
rahn merupakan suatu akad utang piutang dengan menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syara’ sebagai jaminan, hingga orang yang bersangkutan boleh mengambil utang.


DATAR PUSTAKA
Hosen M Nadratuzzaman dan Ali Hasan, Khutbah Jum’at Ekonomi Syari’ah, PKES (Pusat Komunikasi Ekonomi Syari’ah ) .2008
Majalah Info Bank “Analisis Strategi Perbankan dan Keuangan syaria’ah”
Web Design by Ari Agung Nugraha – ULGS Sei Panas Batam E Mail : gsbatam@yahoo.com
www. Pegadaian.co.id

makalah tentang murtad



BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Asas negara pada abad pertengahan berbeda dengan asas negara modern. Pada abad pertengahan pemikiran tentang suatu negara belum jelas dan tertata, ketika itu agama merupakan pondasi negara, sebagaimana agama merupakan lambang kebangsaan atau nasionalisme. Di daerah Timur, Islam merupakan negara sedangkan di Barat, Kristen adalah negara. Seorang muslim akan menjadi warga negara di setiap masyarakat muslim atau kelompok muslim, sebagaimana seorang nasrani yang menjadi warga negara atau anggota di masyarakat atau kelompok kristen. Dan kelompok minoritas selalu mendapat perlindungan dari kelompok mayoritas. Maka ketika seseorang yang keluar dari agama ia dianggap telah melakukan pengkhianatan, karena ia dianggap telah bergabung dengan agama musuh mereka, yaitu negara mereka. Karena itu hukuman bagi seorang yang keluar dari Islam adalah sangat berat sebagaimana yang diriwayatkan oleh Nabi Muhammad s.a.w. bahwa beliau bersabda: Artinya: Tidak dihalalkan darah seorang muslim yang bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan Aku Rasulullah kecuali dengan tiga cara yaitu: janda yang berzina, menghilangkan nyawa, dan meninggalkan agamanya untuk memisahkan dari kelompok.
Dalam Hadits tersebut Nabi tidak menerangkan tentang apa yang dimaksud dengan keluar dari agama, apakah keluar dari agama Islam ke agama lain secara umum, atau dengan makna merubah ajaran agama Islam dengan ajaran agama lain. Namun secara siyaq (konteks), makna Hadits lebih mendekati ke pemahaman yang kedua, yang kemudian diambil pendapat bahwa hukuman mati merupakan hukuman yang pantas bagi orang murtad -kecuali jika ia bertaubat-, namun Nabi belum pernah menerapkan had riddat selama hidup beliau, dalam Alquran terdapat firman Allah dalam surat al-Baqarat (02) Ayat 256 dan surat Yunus (10) ayat 99 yang menerangkan tentang kebebasan individu dalam memilih agama sesuai dengan kepercayaan masing-masing dan tidak ada pemaksaan untuk menjadi muslim, karena tidak ada kebaikan ketika seseorang menjadi muslim karena terpaksa. Begitu juga apabila ada yang keluar dari agama Islam, Islam tidak merugi bahkan orang tersebut yang rugi karena lebih memilih menjadi mulhid daripada menjadi mu’min. Saat ini kebebasan beragama merupakan hak individu di seluruh dunia yang tertera dalam undang-undang internasional begitu juga tertera dalam undang-undang Mesir yang berbunyi:
Negara memberikan kebebasan warganya dalam beragama dan kebebasan dalam melaksanakan syi’ar agama masing-masing. Tidak ada perbedaan warganya hanya karena perbedaan agama dan keyakinan. Hal tersebut dikarenakan negara didirikan bukan berasaskan agama, tetapi berdasarkan negara yang terdiri dari tanah dan warga (masyarakat) yang memiliki sejarah tersendiri. Namun, hal tersebut bukan berarti negara menghindari penerapan hukum agama dan warisannya –apalagi jika negara tersebut memiliki sejarah agama yang beragam seperti Mesir- karena hal tersebut tidak terlepas dari sejarah agama, yang dalam penerapannya tidak terlepas dari sistem politik.
B.      Tujuan
Tujuan penulis membuat makalah ini adalah untuk mengetahui pengertian Murtad menurut fiqih, al – Qur’an dan hadis, mudah - mudahan makalah ini bermanfaat bagi saya dan orang lain.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A.      Pengertian Murtad
Murtad berasal dari kata irtadda yang artinya raja’a (kembali), sehingga apabila dikatakan irtadda ‘an diinihi maka artinya orang itu telah kafir setelah memeluk Islam (lihat Mu’jamul Wasith, 1/338).Perbuatannya yang menyebabkan dia kafir atau murtad itu disebut sebagai riddah (kemurtadan). Secara istilah makna riddah adalah : menjadi kafir sesudah berislam. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Barangsiapa diantara kalian yang murtad dari agamanya kemudian mati dalam keadaan kafir maka mereka itulah orang-orang yang terhapus amalannya di dunia dan akhirat. Dan mereka itulah penghuni neraka. Mereka kekal berada di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah : 217) (lihat At-Tauhid li Shaffits Tsaalits ‘Aliy, hal. 32)
B.  Macam – macam riddah
1.  Riddah dengan sebab ucapan
Seperti contohnya ucapan mencela Allah ta’ala atau Rasul-Nya, menjelek-jelekkan malaikat atau salah seorang rasul. Atau mengaku mengetahui ilmu gaib, mengaku sebagai Nabi, membenarkan orang yang mengaku Nabi. Atau berdoa kepada selain Allah, beristighotsah kepada selain Allah dalam urusan yang hanya dikuasai Allah atau meminta perlindungan kepada selain Allah dalam urusan semacam itu.
2. Riddah dengan sebab perbuatan
Seperti contohnya melakukan sujud kepada patung, pohon, batu atau kuburan dan menyembelih hewan untuk diperembahkan kepadanya. Atau melempar mushaf di tempat-tempat yang kotor, melakukan prkatek sihir, mempelajari sihir atau mengajarkannya. Atau memutuskan hukum dengan bukan hukum Allah dan meyakini kebolehannya.
3. Riddah dengan sebab keyakinan
Seperti contohnya meyakini Allah memiliki sekutu, meyakini khamr, zina dan riba sebagai sesuatu yang halal. Atau meyakini roti itu haram. Atau meyakini bahwa sholat itu tidak diwajibkan dan sebagainya. Atau meyakini keharaman sesuatu yang jelas disepakati kehalalannya. Atau meyakini kehalalan sesuatu yang telah disepakati keharamannya.
4. Riddah dengan sebab keraguan
Seperti meragukan sesuatu yang sudah jelas perkaranya di dalam agama, seperti meragukan diharamkannya syirik, khamr dan zina. Atau meragukan kebenaran risalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau para Nabi yang lain. Atau meragukan kebenaran Nabi tersebut, atau meragukan ajaran Islam. Atau meragukan kecocokan Islam untuk diterapkan pada zaman sekarang ini (lihat At-Tauhid li Shaffits Tsaalits ‘Aliy, hal. 32-33)
C.  Persoalan murtad menurut Qur’an
Qur’an Suci adalah sumber syari’at Islam yang paling utama; oleh sebab itu akan kami dahulukan. Soal pertama, dalam Qur’an tak ada satu ayat pun yang membicaraan perihal murtad secara kesimpulan. Irtidad atau perbuatan murtad yang terjadi karena menyatakan diri sebagai orang kafir atau terang-terangan mengingkari Islam, ini tak dapat dijadikan patokan, karena adakalanya orang yang sudah mengaku Islam, mempunyai pendapat atau melakukan perbuatan yang menurut penilaian ulama ahli fiqih, bukanlah bersumber kepada Islam. Mencaci-maki seorang Nabi atau menghina Qur’an, acapkali dijadikan alasan untuk memperlakukan seseorang sebagai orang murtad, sekalipun ia secara sungguh-sungguh mengaku sebagai orang beriman kepada Qur’an dan Nabi.
 Soal kedua, pengertian umum bahwa Islam menghukum mati orang murtad, ini tak ada dalilnya dalam Qur’an Suci. Dalam Encyclopaedia of Islam, tuan Heffeming mengawali tulisannya tentang masalah murtad dengan kata-kata: “Dalam Qur’an, ancaman hukuman terhadap orang yang murtad hanya akan dilakukan di Akhirat saja”. Dalam salah satu wahyu Makkiyah terakhir, terdapat uraian: “Barangsiapa kafir kepada Allah sesudah beriman -bukannya ia dipaksa, sedang hatinya merasa tentram dengan iman, melainkan orang yang membuka dadanya untuk kekafiran-, mereka akan ditimpa kutuk Allah, dan mereka akan mendapat siksaan yang pedih” . Dari ayat ini terang sekali bahwa orang murtad akan mendapat siksaan di Akhirat, dan hal ini tak diubah oleh wahyu yang diturunkan belakangan takala pemerintah Islam telah berdiri, setelah Nabi Suci hijrah ke Madinah.
Adapun dalil yang paling meyakinkan bahwa orang murtad tidak dihukum mati, ini tercantum dalam rencana kaum Yahudi yang diangan-angankan selagi mereka hidup di bawah pemerintahan Islam di Madinah. Qur’an berfirman: “Dan golongan kaum Ahli Kitab berkata: Berimanlah kepada apa yang diturunkan kepada arang-orang yang beriman pada bagian permulaan hari itu, dan kafirlah pada bagian terakhir hari itu”.
Bagaimana mungkin orang yang hidup di bawah pemerintahan Islam dapat meng-angan-angankan rencana semacam itu yang amat merendahkan martabat Islam, jika perbuatan murtad harus dihukum mati? Surat al-Maidah adalah Surat yang diturunkan menjelang akhir hidup Nabi Suci, namun dalam Surat itu perbuatan murtad dibebaskan dari segala hukuman dunia: “Wahai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu murtad dari agamanya, maka Allah akan mendatangkan kaum yang Allah cinta kepada mereka dan mereka cinta kepada-Nya“.
D.  Persoalan murtad menurut Hadits
Marilah kita sekarang meninjau uraian Hadits, yang dalil Hadits inilah yang dipakai oleh kitab-kitab fiqih sebagai dasar adanya hukuman mati bagi kaum murtad. Tak sangsi lagi bahwa uraian Hadits yang bersangkutan mencerminkan uraian yang timbul belakangan, namun demikian, jika Hadits itu kita pelajari dengan teliti, sampailah pada kesimpulan, bahwa perbuatan murtad tidaklah dihukum, terkecuali apabila perbuatan murtad itu dibarengi dengan peristiwa lain yang menuntut suatu hukuman bagi pelakunya. Imam Bukhari yang tak sangsi lagi merupakan penulis Hadits yang paling teliti dan paling hati-hati, amatlah tegas dalam hal ini.
Dalam Kitab Bukhari terdapat dua bab yang membahas masalah murtad; yang satu berbunyi: Kitabul-muharibin min ahlil-kufri wariddah, artinya Kitab tentang orang yang berperang (melawan kaum Muslim) dari golongan kaum kafir dan kaum murtad. Adapun yang satu lagi berbunyi: Kitab istita-bal-mu’anidin wal-murtadin wa qitalihim, artinya Kitab tentang seruan bertobat bagi musuh dan kaum murtad dan berperang melawan mereka.
 Dua judul itu sudah menjelaskan sendiri. Judul yang pertama, menerangkan seterang-terangnya bahwa yang dibicarakan hanyalah kaum murtad yang berperang melawan kaum Muslimin. Adapun judul yang kedua, hubungan kaum murtad dengan musuh-musuh Islam. Itulah yang sebenarnya menjadi pokok dasar seluruh persoalan; hanya karena salah paham sajalah maka dirumuskan suatu ajaran yang bertentangan dengan ajaran Qur’an yang terang-benderang.
Banyak sekali orang yang hanya menekankan satu Hadits yang berbunyi: “Barangsiapa murtad dari agamanya, Bunuhlah dia”. Tetapi mengingat apa yang diungkapkan dalam Kitab Bukhari bahwa yang dimaksud murtad ialah orang yang berbalik memerangi kaum Muslimin, dan menghubungkan nama mereka dengan nama-nama musuh Islam, maka terang sekali bahwa yang dimaksud oleh Hadits tersebut ialah orang yang mengubah agamanya dan bergabung dengan musuh-musuh Islam lalu bertempur melawan kaum Muslimin.
Hanya dengan pembatasan dalam arti itulah, maka Hadits tersebut dapat disesuaikan dengan Hadits lain, atau dengan prinsip-prinsip yang digariskan oleh Qur’an Suci. Sebenarnya, kata-kata Hadits tersebut begitu luas sehingga mencakup segala pergantian agama, agama apa saja. Jika demikian, maka orang non-Muslim yang masuk Islam, atau orang Yahudi yang masuk Kristen, harus dibunuh. Terang sekali bahwa uraian semacam itu tak dapat dilakukan kepada Nabi Suci. Maka Hadits tersebut tak dapat diterima begitu saja tanpa diberi pembatasan dalam artinya.
D.  Perbuatan Murtad dalam Fiqih
Jika kita membaca kitab fiqih, di sana diuraikan bahwa mula-mula para ulama fiqih menggariskan satu prinsip yang bertentangan sekali dengan Qur’an Suci, yakni orang dapat dihukum mati karena murtad. Dalam Kitab Hidayah diuraikan: “Orang yang murtad, baik orang merdeka maupun budak, kepadanya disajikan agama Islam; jika ia menolak, ia harus dibunuh”.  Tetapi setelah Kitab Hidayah menguraikan prinsip tersebut, segera disusul dengan uraian yang bertentangan dengan menyebut orang murtad sebagai “orang kafir yang melancarkan perang (kafir harbiy) yang kepadanya telah disampaikan dakwah Islam”. Ini menunjukkan bahwa dalam Kitab Fiqih pun, orang murtad yang dihukum mati, ini disebabkan karena ia musuh yang memerangi kaum Muslimin.
Adapun mengenai perempuan yang murtad, mereka tidak dihukum mati, karena alasan berikut ini: “Alasan kami mengenai hal ini ialah, bahwa Nabi Suci melarang membunuh kaum perempuan dan karena pembalasan yang sebenarnya (bagi kaum mukmin dan kafir) itu ditangguhkan hingga Hari Kiamat, dan mempercepat pembalasan terhadap mereka di dunia akan menyebabkan kekacauan, dan penyimpangan dari prinsip ini hanya diperbolehkan apabila terjadi kerusakan di bumi berupa pertempuran, dan hal ini tak mungkin dilakukan oleh kaum perempuan, karena kondisi mereka tak mengizinkan”.
Ulama yang menafsiri kitab itu menambahkan keterangan: “Menghukum mati orang murtad itu wajib, karena ini akan mencegah terjadinya pertempuran yang merusakkan, dan ini bukanlah hukuman karena menjadi kafir” (idem). Selanjutnya ditambahkan keterangan sebagai berikut: “Hanya karena kekafiran saja, tidaklah menyebabkan orang boleh dibunuh menurut hukum” (idem). Terang sekali bahwa dalam hal pertempuran dengan kaum kafir, ulama ahli fiqih berbuat kesalah-pahaman, dan nampak sekali terjadi pertentangan antara prinsip yang digariskan oleh Qur’an dengan kesalah-pahaman yang masuk dalam pikiran ulama ahli fiqih. Qur’an Suci menggariskan seterang-terangnya bahwa orang murtad dihukum mati, bukan karena kekafirannya melainkan karena hirab atau memerangi kaum Muslimin.
 Adapun alasannya dikemukakan seterang-terangnya bahwa menghukum mati orang karena kekafiran, ini bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. Tetapi ulama ahli fiqih salah paham, bahwa kemampuan berperang, mereka anggap sebagai keadaan perang, suatu anggapan yang tak masuk akal samasekali. Jika itu yang dimaksud, bahwa orang murtad mempunyai kemampuan berperang, anak kecil dan erempuan pun dapat disebut harbiy (orang berperang), karena anak kecil dan perempuan itu akan tumbuh menjadi besar dan mempunyai kemampuan berperang.
BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Murtad berasal dari kata irtadda yang artinya raja’a (kembali), sehingga apabila dikatakan irtadda ‘an diinihi maka artinya orang itu telah kafir setelah memeluk Islam (lihat Mu’jamul Wasith, 1/338).Perbuatannya yang menyebabkan dia kafir atau murtad itu disebut sebagai riddah (kemurtadan). Secara istilah makna riddah adalah : menjadi kafir sesudah berislam. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Barangsiapa diantara kalian yang murtad dari agamanya kemudian mati dalam keadaan kafir maka mereka itulah orang-orang yang terhapus amalannya di dunia dan akhirat. Dan mereka itulah penghuni neraka. Mereka kekal berada di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah : 217) (lihat At-Tauhid li Shaffits Tsaalits ‘Aliy, hal. 32)
Penulis Kristen yang bersemangat sekali untuk menemukan ayat Qur’an yang menghukum mati orang murtad, tak segan-segan lagi menerjemahkan kata fayamut (yang sebenarnya berarti: lalu ia mati) mereka terjemahkan: lalu ia dihukum mati, suatu terjemahan yang amat keliru. Kata fayamut adalah kata kerja aktif, dan kata yamutu artinya ialah mati. Digunakannya kata itu membuktikan seterang-terangnya bahwa perbutaan murtad tidaklah dihukum mati. Sebagian mufassir menarik kesimpulan yang salah terhadap ayat yang berbunyi: “ini adalah orang yang sia-sia amal perbuatannya”, ini tidaklah berarti bahwa ia akan diperlakukan sebagai penjahat. Adapun yang dimaksud dengan kata amal di sini ialah perbuatan baik yang ia lakukan selama ia menjadi Muslim. Amal inilah yang akan menjadi sia-sia, baik di dunia maupun di akhirat setelah ia murtad.


Sebagian Hadits menerangkan bahwa mereka disiksa sampai mati. Jika ini terjadi sungguh-sungguh, ini hanyalah sekedar hukum qisas, yang sebelum turun wahyu tentang hukum pidana secara Islam, hukum qisas menjadi peraturan yang lazim. Sebagian Hadits menerangkan bahwa segolongan orang dari kabilah ‘Ukul mencukil mata penjaga unta, lalu digiringnya ke gunung batu yang panas, agar ia mati kesakitan. Oleh sebab itu lalu mereka juga dihukum mati seperti itu. Tetapi Hadits lain membantah tentang digunakannya hukum qisas dalam peristiwa tersebut. Menurut Hadits ini, Nabi Suci berniat menyiksa mereka sampai mati sebagaimana telah mereka lakukan terhadap si penjaga unta, tetapi sebelum beliau melaksanakan hukuman itu, beliau menerima wahyu yang mengutarakan hukuman bagi mereka yang melakukan pelanggaran semacam itu, yang berbunyi: “Adapun hukuman orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan berbuat bencana di bumi, ialah mereka harus dibunuh atau disalib atau dipotong tangan mereka berselang-seling, atau dipenjara”. Jadi, menurut ayat ini, perbuatan murtad ialah melancarkan perang terhadap Allah dan Rasul-Nya. Adapun hukumannya bermacam-macam selaras dengan sifat kejahatan yang mereka lakukan. Adakalanya dihukum mati atau disalib apabila ia menjalankan teror; tetapi adakalanya hanya dihukum penjara saja.









DAFTAR PUSTAKA
QS. Al-Baqarah : 217) (lihat At-Tauhid li Shaffits Tsaalits ‘Aliy, hal. 32)
Encyclopaedia of Islam dan imam buhari.